November 26, 2010

Eksistensi dan Citra Allah

Ini bukanlah artikel lengkap seperti yang biasanya saya buat, namun sesungguhnya sebuah email yang saya tuliskan kemarin malam (masih di kampung) dan kirimkan pagi ini (masih di kapal) ke rekan diskusi saya. Karenanya mungkin dalam penulisannya akan terkesan tidak runut dan melompat-lompat serta terkadang membahas hal-hal atau istilah yang tidak langsung dapat dicerna, karena memang awalnya tulisan ini ditujukan kepada orang tertentu yang sudah terbiasa membahas urusan ini dengan saya. Saya meletakkannya disini hanya sekedarnya dengan kemungkinan ada saja yang membaca dan memahaminya. Dan ya, ini juga artikel pertama saya yang menggunakan Bahasa.

-------------------------------------------------------------------------------------

Dengan menyadari "eksistensinya",manusia sesungguhnya lebih dari berelasi dengan Allah, namun juga menyadari dirinya sebagai "citra Allah". Manusia menjadi "sadar" akan dirinya sebagai "perwujudan nyata" dari keilahian itu sendiri di dunia fisik materi, juga sebagai mata yang "eksis" dan memandang dunia. Dalam konteks ini, manusia sebagai citra Allah itu menjadi "inkarnasi" yang ilahi.

Ketika dikatakan bahwa manusia berbeda dari hewan karena manusia berakal budi, sesungguhnya akal budi inilah perwujudan "potensi" "ketidakterbatasan" dalam manusia. Yaitu sebagai satu-satunya mahluk yang "berpotensi" melihat keilahian.

Urusan "eksistensi" tidak akan pernah bisa dimengerti selama kita masih mencoba mempelajari Allah dan manusia dalam ranah "objektif" - Yang dimaksud dengan ranah objektif adalah mencoba menilai dengan menggunakan akal pikiran, rasio, dan logika (termasuk urusan yang tidak logis secara pikiran, karena selama hal itu masih dihubungkan dengan proses sebab akibat, maka ia masih masuk ranah rasio "objektif"). Ranah objektif hanya bisa memberikan kita "pengetahuan" akan itu, tapi tidak akan membuat kita "melihat" itu. "Eksistensi" hanya bisa dipahami secara subjektif dan personal, yaitu sebuah kesadaran diri sebagai "aku" yang hidup dan berada disaat ini, ditempat ini, dijaman ini, didalam tubuh ini, melihat serta mengalami dunia. Dengan menyadari eksistensi, ia menjadi "tonggak utama" dalam melihat sebagai subjek.

Menyadari - bukan mengetahui, atau menerima - diri kita sebagai "citra Allah" atau "inkarnasi keilahian" adalah tujuan yang paling utama dalam hidup dan perjalanan iman manusia. Kesadaran akan "citra allah" adalah tonggak utama yang membuat kita menjadi sadar penuh bahwa kita (atau "aku") tidak sama dengan tubuh kita, perasaan kita (reaksi batin terhadap external), karakter kita (kecenderungan dan penyesuaian kita dari lingkungan), bahkan pikiran (karena pikiran bekerja dalam ranah objektif dan logika) dan kesadaran kita (kesadaran dalam konteks objektif medis misalnya), dan karenanya mampu "melihat", mengendalikan serta tidak terikat dengan semua itu. Namun tentu saja tanpa menyangkal bahwa semua hal tersebut diatas juga merupakan bagian dari kita.

Dalam kesadaran penuhnya sebagai "citra Allah" manusia akan memiliki integritas dan moralitas yang "mendasar" dalam dirinya. Dan ketika sang manusia tersebut mampu bertindak dan hidup sepenuhnya dalam kesadaran tersebut, ia sudah menggenapi "kesadarannya" itu dalam tindakan nyata. Hal ini tidak mudah, karena manusia kerap terbawa kembali pada lima unsur diri tadi.

Inilah sesungguhnya hakikat manusia didunia ini. Inilah yang dimaksud dengan sadar diri sebagai "manusia sejati". Inilah yang dimaksud dengan menerima "Roh Kudus". Yesus berkata, menghujat anak manusia dan allah itu masih termaafkan, namun menghujat roh kudus itu tidak termaafkan. Karena "Roh Kudus" adalah keilahian dalam diri manusia, yang membuat manusia sebagai "citra Allah". Ketika Yesus menyebut dirinya sebagai "anak manusia" dan memanggil Allah sebagai "Bapa", Yesus mengungkapkan suatu gabungan antara "kedekatan" (relasi personal) dan "kesatuan" (kesadaran personal) dengan Allah. (Sadarilah bahwa pernyataan ini adalah usaha untuk menjelaskan secara objektif hal yang bersifat subjektif, karena itu tidak dapat lepas dari keterbatasan pikiran dan kata-kata manusia).

Dengan persepsi "citra Allah" yang demikian, maka berteori tentang allah menciptakan kita sesuai dirinya dengan mata, tangan, dan berbagai perwujudan fisik dan kemudian menyamakan perwujudan fisik allah dengan kita dari pernyataan "citra allah" adalah kebodohan luar biasa. Dan kebodohan lain adalah ketika manusia mencoba berteori untuk "membuktikan" keberadaan Allah, karena pembuktian menggunakan proses berpikir, berasio , dan berlogika, sedangkan keberadaan Allah adalah untuk "disadari". Keberadaan Allah juga bukan untuk dirasakan secara emosional karena emosi tetap hanya sebagian kecil dari diri kita, dan bukan bagian dari kelilahian. Dan jelas setiap perdebatan akan keberadaan Allah menjadi kebodohan luar biasa.

Ketika saya pertama kali menuliskan artikel "The Indescribable Experience of Consciousness and Existence", saya kira itu adalah kegilaan sesaat dan akan terlewati. Namun sesungguhnya kesadaran akan "eksistensi" adalah awal dari sebuah kesadaran yang sama sekali baru. Semua artikel sebelumnya, mencoba menjelaskan kemanusiaan dan keilahian dari analogi, dan ulasan yang bersifat objektif dan logika, mencoba mengartikan makna2 simbolik dari sang "firman". Namun ketika perihal eksistensi itu dihubungkan kedalam pengetahuan dan persepsi keilahian yang sudah ada, maka semua persepsi keilahian yang dulu menjadi tersadari secara berbeda. "Melihat" bukan lagi sebagai "perbedaan sudut pandang" semata, bukan lagi sekedar suatu kacamata lebih besar yang memandang seluruhnya dengan kebijaksanaan lebih, tetapi sungguh2 sebagai Allah yang melihat.

Tambahan diluar email: Perlu diketahui bahwa "kesadaran" subjektif akan keilahian, atau akan keberadaan Allah disini, sangat berbeda konteksnya dengan mempercayai begitu saja kebradaan Allah sesuai dengan yang tertulis, atau diajarkan. Pengalaman akan "eksistensi" diperlukan untuk bisa menghantar sang subjek ke tahap "menyadari". Dan sesungguhnya, saat saya mengatakan bahwa proses berpikir rasional objektif tidak akan bisa menjawab, bukan berarti bahwa proses berpikir ini akan dibuang begitu saja dan tidak berguna. Sebaliknya, berpikir rasional justru menjadi tahapan penting yang pada akhirnya membawa pada "kesadaran". Dan kesadaran ini sangat jauh berbeda dengan kepercayaan yang buta total begitu saja. Yang menjadi kebodohan adalah orang yang terikat ada proses berpikir rasional saja, dimana proses berpikir gagal membawa subjek pada proses "menyadari". Untuk dapat lebih mengelaborasi perihal kepercayaan buta, pemikiran rasional, dan "kesadaran" subjektif ini, saya akan memberikan link ke artikel rekan saya yang membagi pengalaman pencariannya dengan menjelaskan tahapan dan proses ini secara lebih terperinci.

http://hubertushosti.blogspot.com/2010/11/search-of-reason_26.html

No comments: